Kamis, 16 April 2009

Beda Gaya Utang Presiden

Beda Gaya Utang Presiden

Megawati Soekarnoputri (Yahoo! News/AP Photo/Achmad Ibrahim)Setiap Presiden Indonesia punya gaya berbeda dalam memperlakukan utang. Termasuk posisi tawar dalam menerima utang itu. Soekarno, presiden pertama republik ini, misalnya, memakai utang luar negeri untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan proyek mercusuar semacam Monumen Nasional (Monas).

Di luar itu, juga digunakan untuk pengadaan pangan dan ongkos politik. ''Misalnya untuk membiayai operasi melawan pemberontak PRRI/Permesta,'' kata Dian Kartika Sari, Wakil Direktur International NGO Forum on Indonesia Development. ''Di akhir masa pemerintahannya, Soekarno memutuskan untuk tak mengakui utang luar negeri itu,'' ia menambahkan.

Penerus Soekarno, yakni Presiden Soeharto, mengambil kebijakan mengakui utang pada masa pemerintahan sebelumnya. Sebab, untuk membangun negara, Indonesia membutuhkan dana sangat besar. Dana itu berasal dari pinjaman luar negeri. Di masa Soeharto, seluruh utang dipakai untuk membiayai proyek.

Pada periode 1966 hingga 1974, utang itu antara lain dipakai untuk pembangunan saluran irigasi serta infrastruktur perhubungan, yakni jalan, jembatan, kereta api, dan proyek perkebunan. ''Ini untuk mendukung swasembada pangan,'' ujar Dian. Selain itu, juga dipakai untuk proyek pembangkit listrik, pelabuhan, pendidikan, dan perikanan.

Dari tahun 1974 hingga 1998, pinjaman luar negeri, selain dipakai untuk mendukung upaya swasembada pangan, disalurkan pulea ke perusahaan BUMN. Misalnya ke pabrik semen, industri sandang, dan pembiayaan proyek di berbagai provinsi di Indonesia. ''Setelah tahun 1974, utang itu dialirkan juga ke industri,'' kata Dian.

Di masa Soekarno dan Soeharto, negara dan lembaga donor tak diberi keleluasaan untuk mendikte kebijakan pemerintah, terutama yang bersifat politik. Sedangkan yang bernuansa ekonomi masih terjadi. Misalnya, untuk pembangunan sebuah proyek, negara donor yang membiayai proyek itu meminta agar kontraktor maupun barang kebutuhan proyek diimpor dari mereka.

Setelah Soeharto lengser dan digantikan Bacharuddin Jusuf Habibie, menurut Dian, cawe-cawe negara maupun lembaga donor mulai bisa leluasa, baik secara politik maupun ekonomi. Pun demikian pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. ''Kalau di masa Presiden Gus Dur, cawe-cawe agak kurang,'' kata Dian.

Di masa Habibie pula, mulai ada pinjaman program. Duit pinjaman ini dipakai untuk mengubah kebijakan departemen. Ini berlanjut ke presiden-presiden berikutnya. Pinjaman program itu, kata Dian, lebih rentan dikorupsi karena hasilnya tak berwujud. ''Hasilnya kan perubahan kebijakan,'' katanya. Toh, pinjaman proyek tidak berarti bebas dari korupsi. ''Dari dulu sampai sekarang sama saja,'' katanya.

Hingga 31 Januari lalu, total utang pemerintah mencapai Rp 1.667 trilyun. Rinciannya, Rp 747 trilyun pinjaman luar negeri dan Rp 920 trilyun utang dalam bentuk surat berharga negara. Kalau dilitik dari pembeli surat berharga negara (SBN) yang didominasi investor asing, ini juga menandakan bahwa utang SBN itu sebenarnya utang luar negeri. Bedanya, pinjaman luar negeri sangat rentan adanya intervensi politik maupun ekonomi dari negara atau lembaga donor, sedangkan SBN bebas dari intervensi politik maupun ekonomi dari investor asing.

Irwan Andri Atmanto
[Ekonomi, Gatra Nomor 21 Beredar Kamis, 2 April 2009]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar